Solidaritas Masyarakat Nelayan

Hari ini (28 Maret 2012) sekitar pukul 16:30 bersama istri saya dengan kendaraan roda dua kami menuju bagian utara pantai kota Manado dengan maksud mengabadikan momen matahari tenggelam. Perjalanan yang ditempuh sekitar 10 menit dari pusat kota, melewati jembatan megawati dan jalan Hassanudin kami menuju lokasi tepi pantai yang kini sudah dibangun jalan bebas hambatan "Boulevard 2".

Setiba dilokasi saya langsung menyiapkan perlengkapan kamera untuk memulai memotret, perlahan saya berjalan sampai di ujung akhir jalan Boulevard 2 dibangun. Dan sayapun mengabadikan beberapa frame momen matahari yang mulai turun diufuk barat.
Klik untuk perbesar
Sambil menunggu tenggelamnya matahari saya mencoba ke tepi batas jalan hasil reklamasi pantai, tidak ada batas penghalang sehingga pandangan bisa lapang dan luas jauh, terlihat perkampungan nelayan diseberangnya. Beberapa anak-anak disekitar situ bahkan bermain-main dengan naik-turun pada bebatuan hasil reklamasi itu. Tiba-tiba pandangan saya terhenti pada kegiatan para nelayan yang ada diseberang. Sungguh menarik, beberapa orang nelayan terlihat sedang mendorong perahunya untuk dibawah ke tepi.
Klik untuk perbesar

Klik untuk perbesar

Karena penasaran, berhubung juga saat ini saya menggunakan lensa wide tergerak naluri untuk mendekat. Saya pun berlari menuruni bebatuan untuk mengabadikan momen ini. Dan terlihat juga beberapa nelayan ikut mendekati perahu untuk menambah tenaga mendorongnya.
Klik untuk perbesar

Melihat para nelayan begitu bersemangat mendorong perahu, saya semakin mendekat untuk mengambil gambar berusaha mencari angle yang pas. Dan betapa terkejutnya saya hingga membuat hati saya tersentuh bahkan sampai membuat mata saya berkaca-kaca hampir menangis, salah satu nelayan yang membantu mendorong perahu hanya memiliki satu tangan sebelah kiri.
Klik untuk perbesar

Klik untuk perbesar

Beberapa meter kemudian mereka sedikit beristirahat, saya sedikit bertanya kepada bapak yang tinggal memiliki sebelah tangan kiri. "Pak, kenapa perahunya didorang kedarat? apa mau diperbaiki?" Bapak itu menjawab. "Oh tidak, sebentar lagi akan datang badai, semua perahu diangkat ke darat". "Oh begitu" sahut saya...
Klik untuk perbesar

Beberapa nelayan berteriak memanggil teman-teman mereka yang ada didarat, semakin ke tepi air semakin dangkal membuat perahu semakin susah untuk didorong, perlu beberapa tenaga lagi agar perahu bisa diangkat sampat ke darat. Kembali saya bertanya kepada bapak tadi. "Maaf sebelumnya Pak, apa tidak kesulitan hanya dengan satu tangan mendorong perahu ini", bapak hanya tersenyum dan dengan santai menjawab "Masih mending dengan satu tangan, dari pada punya dua tangan tapi tidak membantu". Betapa ungkapan itu membuat saya terdiam sejenak, sesaat saya sadari perahu sudah sampai didarat. Mereka para nelayan itupun melanjutkan kegiatan mereka masing-masing
Klik untuk perbesar

Klik untuk perbesar

Klik untuk perbesar

Solidaritas masyakarat nelayan ini membuat saya kagum, diera kehidupan moderen saat ini hal seperti ini sangat jarang bahkan tidak dapat ditemukan lagi di masyakarat perkotaan. Kehidupan urban yang diwarnai dengan kesibukan menjadikan individualisme masyarkat begitu besar.

Dari sedikit obrolan dengan masyarakat nelayan dilokasi, sebagian besar dari mereka mengungkapkan dalam kondisi "trauma" dengan proyek reklamasi. Mereka sangat takut kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian mereka. "Dulu mencari ikan hanya beberapa ratus meter dari pantai, sekarang bukan cuma kami yang trauma, ikan juga trauma hingga mencari ikan harus berkilo-kilo meter dari sini" ungkap seorang nelayan.